Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi

Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi
Pohon Melai

Senin, 30 April 2012

MAHISA CEMPAKA ADALAH RAJA LIYA MULAI TAHUN 1252 – 1267 MASEHI


OLEH : RAHEN


MAHISA CEMPAKA sebagai  Raja Liya Tahun 1252-1267 Masehi.
“Diceritakan dalam kitab Pararaton: ketika Tohjaya minta pendapat dari para mantri, Nhayaka dan Pranapaja tentang sosok kedua keponakannya yakni ‘Ranggawuni anak dari Anusapati, cucu Ken Dedes dengan Tunggul Ametung’ serta ‘Mahesa Cempaka putra Maahisa Wonga Teleng, cucu Ken Dedes dengan Ken Arok’. Para Nhayaka kemudian berpendapat jika mereka berdua-red tak ubahnya seperti duri dalam daging yang lambat laun — hanya menunggu saat tepat — dan, jika ada kesempatan mereka pasti akan balas dendam dan merebut tahta yang sesungguhnya masih hak mereka.”
Maka Tohjaya segera menyuruh senopati Lembu Ampal untuk melenyapkan mereka berdua. Dengan satu ancaman “Jika mereka berdua (Ranggawuni dan Mahisa Cempaka) tidak mati. Maka, sebagai gantinya adalah nyawanya Lembu Ampal sendiri”
Masih dalam naskah pararaton: diceritakan, konon rencana pembunuhan yang akan dilakukan Lembu Ampal tersebut tercium oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sehingga mereka berdua pun menyembunyikan diri.

Al-hasil Lembu Ampal pun gagal melaksanakan tugasnya. Karena tak menemukan buruannya dan ia ketakutan sendiri — karena “kegagalan” artinya sama dengan kematian. Lalu, ia pun menyembunyikan diri. Namun, dalam persembunyiannya Lembu Ampal tak sengaja, justru bertemu dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dan Lembu Ampal pun berserah, minta ampun dan berbalik mengabdi pada mereka berdua.

Selanjutnya berkat siasat Lembu Ampal — Dengan menghasut segenap warga; mengadu domba antara orang-orang Rajasa dengan orang-orang sinelir maka terjadilah huru-hara dikerajaan, sampai akhirnya ditengah-tengah huru hara tersebut Tohjaya ditemukan dalam keadaan tewas, terbunuh.

Selanjutnya Ranggawuni pun naik tahta. Menjadi Raja Singasari ke 3 ia bergelar Wisnuwardhana. Dan, memimpin Singasari bersama sama Mahisa Cempaka yang bergelar Narasingmurti, selama 14 tahun .

Rangga Wuni dan Mahisa Cempaka adalah “Dwi tunggal” (satu kesatuan yang tak terpisahkan) yang dapat menyatukan dua kubu antara keturunan Ken Arok dengan keturunan Tunggul Ametung yang sama-sama berasal dari Ken Dedes. Mereka berdua sama-sama menyebut dirinya sebagai Raja dalam satu kerajaan dan mereka pun saling menghormati satu sama lainnya. sehingga suksesi berikutnya pun tak ada lagi pembunuhan berdarah. Dimana Kertanegara anak dari Rangga wuni pun naik tahta menjadi Raja ke 4 Singasari, dengan damai dan tentram. Dibantu oleh putra Mahisa Cempaka yakni Dyah Lembu Tal, yang saling bekerja sama, bahu membahu.

adalah anak  Ken Dedes dari suaminya yang bernama Ken Arok, sedangkan Rangga Wuni adalah anak Ken Dedes dari suami pertamanya, yakni Tunggul Ametung. (dianalisa berdasarkan rekonstruksi sejarah dari membaca semua yang tertulis, baik di alam, di batu, prasasti, lontar, internet, & buku-buku)
Pada waktu bersamaan (setelah wafatnya Anusapati) keduanya sama-sama menjadi raja (MAHISA CEMPAKA DAN RANGGA WUNI) ; keduanya adalah Raja Singosari dalam waktu bersamaan (1 tahta dijalankan oleh 2 orang raja, dimana keduanya adalah saudara sepupu sekali).

Seiring perjalanan waktu, ditambah dengan intrik atau pergerakan politik dalam Kerajaan Singosari, Mahisa Cempaka mengundurkan diri sebagai Raja Singosari. Beliau kemudian memutuskan "mendatangi" kerajaan leluhurnya. Nah.., kerajaan leluhurnya itu insya ALLAH adalah Kerajaan Liya.

Fakta adalah sebagian besar nama-nama tempat di Pulau Wangi-Wangi atau wangi (ng) & Kepulauan Tukang Besi adalah berasal dari bahasa Sanskrit atau Sansekerta. Makam Mahisa Cempaka pun insya ALLAH terletak di depan masjid Keraton Liya. Ini benar-benar dapat diuji secara ilmiah.
"Tumpukan batu" itu sendiri (yang ditondo & ditinggikan) insya ALLAH merupakan makam 3 atau 5 orang anggota dinasti WANGSA RAJASA (dinasti-nya KEN AROK), termasuk makam MAHISA CEMPAKA.

Bagaimana cara membuktikannya secara ilmiah pernyataan saya terakhir itu..?

Mudah saja, sisa kita menentukan (menghitung atau men-"dating", bagusnya dengan teknik metode isotop carbon atau unsur radio aktif tertentu berapa persisnya umur tumbuhan bunga cempaka (bunga kamboja) yang tumbuh di atas "tumpukan batu" yang terletak di belakang "Makam Jilabu".

Insya ALLAH umur salah satu pohon cempaka atau kamboja yang ada di sana umurnya (sudah tumbuh selama..) adalah: 751 tahun.

Mungkin umurnya tidak akan didapat persis seperti itu. Namun, insya ALLAH range umur hasil "dating" yang akan didapat adalah sekitar 700 sampai 800 tahun.

Silahkan kita ajak para ahli botani (tumbuh-tumbuhan), paleontologi, & fisika "inti" untuk menghitung atau men-"dating" berapa lama sudah pohon-pohon itu bertahan hidup.

Di sekitar gua tersebut mungkin bakal kita temukan makam raja-raja lainnya. Namun, makam MAHISA CEMPAKA (perabuannya) adalah terletak di "tumpukan batu" yang ada di belakang "Makam Jilabu". ****

SI PANJONGA MENGUKIR KEEMASAN KERAJAAN LIYA MULAI TAHUN 1293 - 1295 MASEHI

OLEH : RAHEN




SIPANJONGAN adalah penguasa atau Raja dari Johor Semenanjung Malaka yang terakhir yang datang ke negeri Liya dalam rangka mengasingkan diri dari pelariannya oleh pengejaran tentara Mongol.  Pasukan Mongol ketika itu datang menyerbu istananya  dan dikabarkan bahwa dia wafat pada saat itu, namun yang benar adalah Si Panjongan mengasingkan diri menuju Liya dan yang meninggal adalah seorang abdi setianya yang menyamar sebagai beliau dan dibunuh oleh tentara Mongol. SI PANJONGAN diambil dari asal kata “jonga” atau yang dipayungi adalah diperkirakan merupakan Raja Liya  setelah SI Malui, Si Tamanajo, Bau Besi (Raden Jutubun) dan Mahisa Cempaka. Si Panjongan menjadi Raja di pulau Liya  diperkirakan mulai Tahun 1268 s/d 1295 Masehi. Keberadaan Si Panjongan di Liya sebagaimana disebutkan dalam Hikayat Sipanjongan oleh Hasaruddin (2006) dalam bukunya : Naskah Buton, Naskah Dunia. Dalam Hikayat tersebut yang ditulis oleh seorang pedagang banjar 1267 H mengatakan bahwa Si Panjongan pernah menjadi Raja di Pulau Liya sebagai seorang yang dermawan dan memiliki harta yang banyak serta saudara yang banyak. Adapun leluhur SI Panjonga adalah seorang Ulama terbesar sepajang masa, juga yang termulia di tanah Arab (mekkah).  SI Panjonga  menikah dengan saudara Si Malui  yang bernama Si Sabanang yang melahirkan Betoambari sebagaimana dikisahkan oleh Susanto Zuhdi (1999) dalam bukunya : "Labu Rope, Labu Wana  : Sejarah Buton Abad ke XVII-XVIII, Universitas Indonesia (tidak diterbitkan).

WA KAA KAA menikah dengan SIBATARA atau dikenal dengan nama ARDHA-RAJA (“RAJA di BUMI”) yang merupakan anak dari JAYAKATWANG sebagai Raja Kediri (oleh orang-orang MONGOL yang KONON “MENYERANG” kerajaannya, yaitu KERAJAAN KEDIRI, beliau dikenal sebagai AJI KATONG, atau JAYAKATYENG; sedang berita Cina menyebutnya dengan nama HAJI KATANG). BETOAMBARI merupakan Patih Amangkubhumi (“Patih yang mem-‘paku’ atau menancapkan SESUATU di BUMI”) di KERAJAAN MAJAPAHITBETOAMBARI menikah dengan adik dari SIBATARA atau ARDHA-RAJA (saat ini turunannya sebagian besar menetap di “NEGERI LIYA” atau Pulau LIYA (pulau OROHO) yang sekarang ini berada dalam wilayah KABUPATEN WAKATOBI.


BETOAMBARI, merupakan seorang NEGARAWAN BESAR, dimana sebenarnya beliau-lah yang menjadi pengendali KERAJAAN MAJAPAHIT pada masa-masa keemasannya yang selanjutnya kerajaan tersebut menjadi “pudar” setelah wafatnya beliau. BETOAMBARI, merupakan seorang MUSLIM yang SANGAT TAAT melaksanakan AJARAN ISLAM, namun karena “kondisi” menjadikannya terpaksa menyembunyikan ke-ISLAM-an-nya, sekaligus sebagai bentuk & perwujudan RASA TOLERANSI yang sangat tinggi & mulia terhadap masyarakat KERAJAAN MAJAPAHIT yang berbeda “KEYAKINAN” dengannya. BETOAMBARI,  adalah penulis dari kakawin Negarakartagama yang termasyhur, berdasarkan pengalamannya langsung selama MENJELAJAH (ber-EKSPLORASI) untuk mempersatukan NUSANTARA.

Selain diberi nama (“kode”) Negarakaṛtâgama (“Negara dengan agama yang suci, yaitu: ISLAM”), BETOAMBARI juga memberi nama kakawin yang ditulisnya sebagai Deśawarṇana (“Penulisan tentang Daerah-Daerah”). Judul sebenarnya (PESAN TERSIRAT yang sebenarnya ingin disampaikan BETOAMBARI kepada orang-orang BUTUN hari ini), sekali lagi, JUDUL SEBENARNYA dari kakawin tersebut seharusnya adalah: “DAERAH-DAERAH YANG MERUPAKAN WILAYAH KERAJAAN BUTUN”.

Jika tidak memakai STRATEGI seperti itu, kemungkinan besar kakawin yang dibuat BETOAMBARI tidak akan selamat dari “kejaran” PARA MANUSIA-MANUSIA KURANG AJAR, terlebih juga saat itu kebencian agama-agama tertentu terhadap ISLAM sedang mencapai puncaknya, & lebih-lebih lagi oleh VOC & BELANDA. BETOAMBARI juga ber-STRATEGI seolah-olah kakawin yang dibuatnya hanyalah merupakan SASTRA pujian untuk keluarga besar HAYAM WURUK (yang sebenarnya adalah keluarga besarnya juga, namun berbeda dalam hal “KEYAKINAN”), & bukan tentang BATAS-BATAS WILAYAH & KEBESARAN KERAJAAN BUTUN. Bahkan, BETOAMBARI memasang “nama pena” di kakawinnya sebagai MPU PRAPANCA (kata “prapañca” artinya adalah ‘bingung’) & memasang tahun 1365 sebagai tahun penulisan kakawin itu untuk benar-benar membuat bingung semua orang, kecuali benar-benar KETURUNAN-nya langsung. BETOAMBARI sendiri meninggal tahun 1364 & dikuburkan di daerah Betoambari yang berada dalam pusat pemerintahan KERAJAAN BUTUN yang didirikan ayahnya, yakni: SIPANJONGA.


Kakawin Negarakartâgama pertama kali “ditemukan” kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. BRANDES, seorang ahli SASTRA JAWA dari BELANDA yang ikut “mengiringi” (MENYERBU) istana Raja Lombok di CAKRA-NAGARA dalam suatu “ekspedisi” TENTARA KNIL di Lombok (yang SEBENARNYA adalah mereka BENAR-BENAR meng-eksplorasi untuk mencari keberadaan kakawin yang ditulis BETOAMBARI, setelah membaca & menterjemahkan “simbol-simbol” (“kode”) dalam kisah-kisah yang tertuang dalam BABAD TANAH JAWI. Kakawin Negarakartâgama “semula dikira” hanya TER-WARIS-KAN (dalam bahasa BUTUN diucapkan sebagai “WAKAF”) di dalam sebuah naskah tunggal. J.L.A. Brandes “menyelamatkan” isi perpustakaan Raja Lombok di CAKRA-NAGARA yang berisikan ratusan naskah lontar (SALAH SATUNYA adalah lontar Negarakartâgama), sebelum istana sang raja DIBAKAR oleh TENTARA KNIL SEMUA NASKAH “dari Lombok” dikenal dengan nama lontar-lontar “KOLEKSI LOMBOK” yang SANGAT TERMASYHUR & disimpan di perpustakaan UNIVERSITAS LEIDEN, Belanda (hahaha.., sepandai-pandainya “MEREKA” mau ber-tipu muslihat & ber-BUAT KOTOR, pada akhirnya suatu ketika tetap akan terbongkar juga ***…


Kita coba PAUSE (rehat sejenak) untuk merenungkan RAHASIA-RAHASIA asal muasal KERAJAAN LIYA yang sudah mulai terungkap, walau baru sedikit di atas. SIAPAKAH YANG HARUS PERGI MENJEMPUT SEMUA ITU DI KERAJAAN BELANDA sana dari tangan sang Ratu Beatrix dan Wilhelmina Armgard..****

CATATAN :
Menari juga diskripsi sejarah riwayat Si Panjongan yang direlis oleh Rahen ini dan tentu akan banyak kontroversial dengan sejarah lain yang telah ada. Tak apa digunakan sebagai perbendaharaan dan sebagai pembanding agar wawasan dan cara berpikir kita lebih lagi serius dalam mendalami segala permasalahan sejarah budaya buton yang serba unit dan tendensial. Akan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji kebenaran kisah ini.

Sabtu, 29 Oktober 2011

SENI TARI TRADISIONAL ASLI MILIK LIYA "HONARI MOSEGA" MULAI ADA SEJAK TAHUN 1252 M

OLEH : ALI HABIU

 

Tarian tradisional Honari Mosega adalah merupakan tarian tradisional asli milik Keraton Liya yang diperkirakan sudah mulai ada sejak  pertengahan Abad ke XII, yakni setelah Mahisa Cempaka menjadi Raja di Liya tahun 1252 M. Hal ini ditandai oleh adanya  gerakan pencak silat balaba dalam tarian ini. Pencak silat balaba merupakan seni penjaga diri milik kerajaan Melayu-Pasai yang sudah ada bersemayam di pulau Oroho  sebelum kerajaan di Liya didirikan.  Dahulu kala seni tari Honari Mosega ini dalam peragaannya semua pemain tidak mengenakan baju, kecuali hanya sarung yang diikatkan melindungi alat vital pemain mengikat di pinggang. Dalam perkembangannya setelah masuknya Portugis di Indonesia kala itu Raja Liya dipegang oleh Talo-Talo, atau Lakueru atau Lakundaru banyak meyerang tentara Portugis kemudian  dibunuh di perairan  Wangi-wangi dan topi prajurit tersebut diambil oleh pasukan hulubalang kerajaan Liya. Dan Topi tersebut dipakai penari utamanya  seni tari Honari Mosega ini.  Tarian Honari Mosega ini merupakan perpaduan dari seni pencak silat Balaba dengan seni perang yang dikombinasikan gerakannya dalam satu kemasan seni tari disebut Honari Mosega. Pada zamannya mulai terbentuknya seni tari Honari mosega tersebut  dipakai oleh Raja sebagai pasukan telik sandi atau saat ini dikenal sebagai pasukan intelijen/mata-mata  dipersembahkan kepada para tetamu yang berkunjung ke Keraton Liya baik merupakan utusan kerajaan lain di luar wilayah Liya maupun perorangan atau para hulubalang atau saudagar pedagang rempah-rempah antar pulau. Ketika tetamu tersebut tiba di wilayah Keraton Liya maka akan disambut oleh tarian tersebut sebagai utusan rahasia Raja Liya untuk mengamati gerak-gerik atau sifat para tetamu tersebut apakah lawan ataukah musuh. Oleh karena itu dahulu kala Tarian ini merupakan tarian andalan sang Raja dalam melindungi wilayah kekuasaanya dari serang  musuh-musuhnya dari kerajaan lain.  Jika tetamu tersebut ternyata musuh maka pasukan pengawal Honari Mosega ini akan segera bertindak untuk menghancurkan musuh yang telah menyusup ke wilayah Kerajaan Liya. Tarian Honari Mosega dilengkapi dengan pasukan tamburu sebanyak 17 orang yang terdiri dari orang-orang sakti dan kebal dari pasukan Meantu,u Solodadu atau pasukan panglima perang Keraton Liya. Pasukan pengawal Honari Mosega ini dilengkapi dengan seperangkat Tombak tajam yang ujung-ujung tombak telah diberi racun atau "bisa" untuk kesiapan mereka menyerang musuh bila ada yang menyusup. Dahulu kala sebelum Tarian Honari Mosega ini tampil maka di peragakan lebih dahulu Tarian Tamburu yang terdiri dari 17 orang pengawal lengkap dengan tombak dan keris di pinggang. Pasukan tamburu ini juga memainkan gerakan-gerakan tradisional sambil mengibas-ngibaskan Bendera kebesaran Keraton Liya yang terdiri dari bendera warna kuning berbentuk segi empat di bagian luarnya dikelilingi oleh garis-garis hitam.




Sampai dengan masa pendudukan jepang di Indonesia, Tarian Honari Mosega ini setelah tampil maka akan dilakukan "makandara". Makandara ini berupa acara adu tanding dalam keadaan setengah sadar antara semua pasukan sejumlah 17 orang tersebut untuk saling menombak atau menikam dengan keris masing-masing, namun karena "Makandara" ini diselimuti kekuatan gaib disamping juga orang-orang penarinya semua kebal maka tak satupun dari mereka yang bisa tertembus dengan tombak atau keris dan yang ada hanya terdengar bunyi-bunyi melenting antara besi dan badan manusia. Pada saat acara "Makandara" ini semua penonton termasuk Sara atau pemangku adat sudah menyepi masing-masing mancari tempat yang aman dari gangguan serangan membabi buta dari pasukan tersebut.

Hanya saja dalam perjalannya sayang sekali bahwa "Tarian Honari Mosega" ini di klaim sebagai tarian milik Mandati padahal di Mandati dahulu kala tak terdapat  tarian semacam ini. Di Mandati sejak dahulu kala hanya terdapat "Tarian Makandara" yaitu tarian 2 orang yang dilakukan setengah sadar dengan saling menyerang satu dengan lain dengan mengikuti irama gendang atau tamburu. Bunyi lantuman gendangpun sangat beda dengan bunyi gendang tarian Honari Mosega milik Keraton Liya. Proses plagiat ini terjadi semenjak terjadinya asimilasi antara orang-orang sakti asal liya bertempat tingggal di Mandati dan membentuk keturunan disana, sehingga kelompok keluarga inilah yang mengakui Tarian Honari Mosega ini sebagai miliknya atau milik Madati karena memang mereka semua adalah hasil migrasi dari Keraton Liya.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan catatan Mpuh Prapanca (1364) dalam buku Negarakartagama menyebutkan bahwa LIYA-wangi-wangi adalah bekas wilayah Kerajaan Majapahit. LIYA postulat di masa lalu dijadikan sebagai daerah keresian tempat perlindungan atau persembunyian dari para orang-orang pembesar atau para Raja berbagai kerajaan di nusantara jika terjadi kemelut di dalam kerajaannya. Adapun  catatan Mpuh Prapanca sebagaimana dikutif dalam sebuah web site Kompasiana.com oleh Mahaji Noesa sebagai berikut :

“…..muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk tentang udamakatrayadhi nikanang sunusaspupul ikangsakasanusanusa makassar butun banggawi kuni gra-LIYA-o wangi (ng) salaya sumba solo muar,….....  "(Mattulada mengutip buku ‘Gajah Mada’ karangan Muhammad Yamin, terbitan Balai Pustaka Jakarta tahun 1945).

Sampai saat ini "Tarian Honari Mosega" merupakan salah satu tarian sakral andalan Keraton Liya yang sering ditampilkan diberbagai acara pestival budaya nusantara dan merupakan salah satu tarian perang tertua di Indonesia. ****

“LIYA WANGI-WANGI BUTON” DIDUGA ADA HUBUNGAN PERADABAN ZAMAN DAHULU KALA DENGAN BALI dan JEPAN ?

OLEH : ALI HABIU

  
      A.    PEMAHAMAN KONSEPTUAL
Postulat secara hipotesis bahwa dengan telah diketemukannya situs LINGGA dan YONI dalam lingkungan Benteng Keraton Liya Wangi-Wangi maka dapat dipremis bahwa Kerajaan Liya Wangi-Wangi dahulu kala masih menganut ajaran Hindu, sekalipun kemungkinannya manusianya sudah menganut faham islam tetapi belum islami atau dengan kata lain belum menegakkan ajaran islam yang benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Jika benar Mahisa Cempaka adalah Raja Liya pertama mulai tahun 1252 Masehi maka hipotesis ini sementara dapat diterima walaupun tentu secara ilmiah diperlukan pembuktian empiris dan konsepsional di lapangan. Oleh karena itu premis boleh jadi LIYA WangiWangi ada hubungan budaya dengan LIYA di Bali.
Menurut pemahaman kebudayaan Bali; LIYA adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk  mencari pencerahan lewat aksara suci. LIYA berarti lina aksara yakni  memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu. Kekuatan aksara ini disebut panca geni aksara, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian metode  apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya ( aura). Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh , telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Pada prinsipnya ilmu trickle tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo, kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan planetary kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut "angeregep pengelekasan".
Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut "ndihan" bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan ini adalah bagian dari badan planetary manusia, badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.    
       Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat yang tersuci selain di kuburan, kenapa demikian di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit, bagi penganut tantric bermeditasi di kuburan di sebut meditasi "KAVALIKA". Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang meyeramkan, ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar "tatwaning ulun setra" sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang dark baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda kecapi, Mpu kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan, di Jawa tradisi ini di sebut " TIRAKAT. 

       Di Bali ada beberapa daerah yang terkesan lucu mengganggap kuburan adalah tempat sebel, leteh, ketika ada orang meninggal, atau ngaben, tidak boleh sembahhyang ke pura karena sebel, padahal.. kalau ngaben kita juga mengahaturkan panca sembah kepada Hyang Widi di kuburan, lantas di mana letak beda sebel Pura dan sebel kuburan bagi TUHAN ? itu hanya awig-awig manusia. 
Berhubungan denhan hal tersebut di atas, pada zaman dahulu kala telah diriwayatkan oleh para leluhur asal LIYA Wangi-Wangi bahwa manusia-manusia yang mendiami wilayah ini sering melakukan tapah brata baik di dalam gua-gua, di dasar laut, di kuburan-kuburan keramat juga di dalam ruang pertapaan khusus di ruang bubungan rumah sehingga zaman itu orang-orang LIYA WangiWangi banyak yang sakti-sakti dan mumpuni ilmunya, misalnya : kalau meninggal dunia bisa langsung menghilang dipembaringan (kalau keluarga setuju), waktu meninggalnya telah diketahui hari/jam dan bulan/tahunnya, bisa dilihat dimana-mana dengan waktu yang bersamaan, memiliki ilmu bayangan dilihat banyak dalam keadaan tertentu, sekali mendayung sudah sampai di suatu tempat yang dituju dlsb.
Oleh karena itu ketika Kerajaan Buton terbentuk awal abad XIII banyak orang-orang LIYA WangiWangi dipakai oleh sang Raja di pulau Buton untuk dijadikan pengawal pribadi atau perajurit perang. Kebiasaan –kebiasaan masyarakat LIYA WangiWangi untuk melakukan pertapaan ala Hindu tersebut mulai berkurang semenjak masuknya Islam di pulau Buton yang dibawah oleh Sjech Abdul Wahid dan ditenarkan oleh pengikutnya Sjech DJILABU setelah diangunnya Mesid Al Mubaraq (Mesjid Agung Keraton Liya) tahun 1547 Masehi. Walaupun demikian pada tahun 1238 Masehi Haji A.Muhammad dan kawan-kawan telah membangun mesjid di Togo Lamaentanari yang berjarak hanya sekitar 2000 meter dari Keraton Liya, namun Haji A.Muhammad dan kawan-kawan yang berasal dari saudagar pedagang rempah-rempah asal Persia yang mendarat di Lamaentanari karena kapalnya tertabrak oleh karang di selat Jawa ketika itu tidak mengejarkan atau menyebarkan ajaran islam karena mereka merasa takut oleh karakter orang-orang LIYA WangiWangi saat itu yang serba sakti sementara mereka semua adalah pendatang tanpa sengaja.  Keseluruhan  kisah ini tertuang dalam naskah sejarah kuno buton yang tersimpan di Leiden.
           B.   PEMAHAMAN SINTESIS
Dalam Pupuh XIV Negarakretagama oleh Mpuh Prapanca (1365) disebutkan bahwa wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit meliputi :

Kadangdangan i Landa (Landak) len ri Samedang Tirem tan kasah ri Sedu (Sarawak) Buruneng (Brunei) ri Kalka Saludung ri Solot (Sulu) Pasir Bartitwsi Sawaku muwah ri Tabalung (Tabalong) ri Tnjung Kute (Kutai Kartanegara) Lawan ri Malano makapramuka ta(ng) ri Tanjungpuri

Ikang skahawan Pahang pramuka tang Hujungmedini (Malay peninsula) ri Lengkasuka len-ni Saimwang i Kalanten (Kelantan) i Tringgano (Trengganu) Nacor (Pattani) Pakamuwar Dungu (Dungun) ri Tumasik (Singapore) ri Sanghyang Hujung Kelang (Klang valley) Keda (Kedah) Jere ri Kanapiniran sanusapupul

Sawetan ikanang tanah Jawa murah ya - warnnanen ri Bali makamukyo tang Badahulu mwang Lwgajah Gurun mukamuke Sukun ri Taliwang ri Dompo Sapi ri Sanghyang Api Bhima Ceram i Hutan Kadala (Buru island) opupul

Muwah tang i Gurun sanusa mangaram ri Lombok Mirah (Lombok island) lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyang kabeh muwah tikang i Batangan pramuka Bintayan len Luwuk (Luwu) tekeng Udamakatraya (Sangihe Talaud) dhi nikanang sanusapupul

Ingkang sakasanusa Makasar Butung (Buton) Banggawai KUNI GRA-LIYA-O mwang i(ng) (baca : wangi-wangi) Salaya (Selayar island) Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan (Bandaneira) Ambwan (Ambon) athawa Maloko (Maluku) Ewaning (Wanin/West Papua) ri Sran (Seram) in Timur (Timor) makadi ning angeka nusatutur
sumber :http://www.asiafinest.com/forum/lofiversion/index.php/t204931.html)
Sebagai anekdot dalam kaitan naskah ini perlu menjadi renungan bagi kita semua apakah yang dimaksud dengan KUNI dalam kalimat KUNI GRA-LIYA-O adalah identik dengan nama sebuah tempat yang menjadi Ibu Kota Jepang pertama tahun 740 s/d 744 Masehi yang berada di provisi Yamashiro dan sejak tahun 2007 pemerintah Jepang menjadikan sebagai "situs bersejarah Istana Kuni (kuil resmi Provinsi Yamashiro)
Setelah terjadinya Pemberontakan Fujiwara no Hirotsugu, Kaisar Shōmu pada bulan 12 tahun 740 memerintahkan ibu kota dipindahkan dari Heijō-kyō ke tempat bernama Kuni di distrik Sagara. Lokasinya dipilih karena merupakan markas Daijō Daijin Tachibana no Moroe.
Di dalam kompleks Istana Kuni (Kuni-kyū) terdapat tempat tinggal kaisar, aula utama (daigokuden dan chōdō-in) tempat dilangsungkannya upacara resmi dan kegiatan pemerintahan, dan kantor pejabat pemerintah (kan-ga). Kompleks istana dari utara ke selatan panjangnya 750 m dan lebarnya dari timur ke barat 560 m.
Bulan September tahun 741, kota dibagi menjadi dua distrik, Sakyō dan Ukyō. Istana kaisar mulai dibangun, dan secara resmi kota ini disebut "Yamato no kuni no ōmiya" sejak bulan November 741. Pada akhir tahun 743, semua pekerjaan dihentikan walaupun pembangunan ibu kota belum selesai karena kaisar Shōmu memerintahkan agar ibu kota dipindahkan ke Shigarakinomiya.
Walaupun hanya sempat menjadi ibu kota selama 3 tahun lebih, ibu kota berada di Kuni-kyō ketika kaisar mengeluarkan perintah tentang "pendirian kuil resmi provinsi (kokubunji) dan kuil biarawati provinsi", dan perintah pembangunan Daibutsu.
Setelah tidak lagi menjadi ibu kota, bekas istana kaisar dimanfaatkan kembali sebagai kuil resmi Provinsi Yamashiro. Aula utama (daigokuden) diubah menjadi bangunan aula pemujaan (kondo).
Jika anekdot ini benar adanya dimana KUNI sama seperti yang disebutkan dalam pupuh ke XIV Negarakretagama oleh Mpuh Prapanca (1365) maka berarti LIYA WangiWangi pada zamannya adalah daerah keresian tempat berkumpulnya Raja-Raja di wilayah Nusantara pada zamannya setelah mereka mendapat serangan wilayah kekuasaannya dari tentara Mongol yang mana LIYA WangiWangi dijadikan tempat persembunyian, perlidungan sekaligus tempat tapah brata.  KUNI di LIYA kemungkinan besar dibawah oleh pasukan Mongol pada tahun 1292 dalam pencariannya ke wilayah pulau-pulau di kawasan timur nusantara setelah mereka tak sempat menaklukkan Jayakatwang sebagai Raja Singosari karena istananya telah dihancurkan sendiri oleh Jayakatwang. Dan ketika itu untuk mencari Jayakatwang maka Kubilai Khan sebagai Raja Mongol bekerja sama dengan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit untuk bersama-sama mencari Jayakatwang.

GRA dalam pengertian kamus jawa kuno sebagai tempat yang menunjukan permukiman, sedangkan BANGGAWAI adalah berhubungan dengan pekerjaan (bisa diartikan perlindungan atau persembunyian). Walaupun demikian kita masih menunggu pengertian asli dalam kamus Jawa Kuno istilah KUNI itu sebetulnya apa pemaknaannya agar kita bisa mengungkap di balik pupuh XIV Mpuh Prapanca dalam catatannya Negarakretagama tentu mengandung pemahaman yang hakiki terutama dalam rangka mengungkap kebenaran lembaran sejarah yang hilang selama ini di nusantara khususnya Moksa Maha Patih Gajah Mada di wilayah Liya WangiWangi. *****

BEBERAPA TAHAPAN PROSES MASYARAKAT ADAT LIYA WANGI-WANGI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN SARA

OLEH : ALI HABIU



Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tokoh adat Liya bernama La Ode Biru Mabasa salah satu anak Meantu,u Kontabitara terakhir  mengatakan bahwa pada zaman pemerintahan kerajaan Liya masa lalu tahapan proses pengambilan keputusan masyarakat adat yang akan diputuskan oleh Sara Liya (Lakina Liya atau Raja Liya) melalui tahapan tiga tingkat sebagai sarana pemberian demokratisasi masyarakat adat Liya dalam mengangkat berbagai issue yang aktual guna di cari jalan keluar yang bijaksana kemudian akan dibahas pada tingkat pemuka adat (Sara) dan selanjutknya diputuskan oleh Raja Liya,  diuraikan sebagai berikut:
 
  1. Tingkat ke-1, yakni tingkat permasalahan dan perdebatan masalah dimulai dari BANTEA.  BANTEA adalah rumah singgah para nelayan dan petani yang terdapat di OA atau mulut kampung yang mana tata ruang bangunannya bagian dalam dibuat terpisah antara sayap kiri dan sayap kanan yang berfungsi sebagai tempat perdebatan dan penghelatan dalam memunculkan berbagai masalah mengenai pemerintahan dan rakyatnya untuk dijadikan bahan input dalam pemecahan masalah di tingkat BATANGA. Jumlah BANTEA di wilayah kerajaan Liya hanya terdapat 4 buah yang letaknya masing-masing di tepi pantai yakni di pantai Woru, pantai Sempo, pantai Onesipi dan pantai Bira.
  2. Tingkat ke-2, yaitu tingkat pemecahan Masalah di BATANGA. Masalah yang diangkat di tingkat BANTEA akan dibawah di tingkat BATANGA dan diselesaikan disana  berupa pengambilan formulasi keputusan awal untuk selanjutnya akan di bawah ke BARUGA guna mendapat keputusan tetap SARA (Raja Liya). Di wilayah kerajaan Liya terdapat 10 buah BATANGA pada masing-masing sejumlah 10 buah dusun/kampung. Masing-masing kampung bisa memberikan solusi awal terhadap permasalahan pemerintahan dan rakyat yang di isukan di BANTEA sebagai bahan untuk diajukan di tingkat SARA Liya di BARUGA.
  3. Tingkat ke-3, adalah tingkat Pengambilan keputusan akhir di BARUGA. Pada pemerintahan Raja Liya hanya terdapat 1 buah BARUGA yang dibangun di belakang mesjid Agung Keraton Liya. BARUGA inilah tempat duduknya para SARA Liya (para pemuka adat Liya) bersama Raja Liya dalam melakukan sidang untuk memutuskan segala sesuatu yang di bawa dari BATANGA. Keputusan Raja Liya setelah melalui permusyawaratan para SARA Liya adalah mutlak dan harus dipatuhi oleh semua masyarakat adat Liya tanpa kecuali.

TINGKAT KE-1 DI BANTEA


TINGKAT KE-2 DI BATANGA

TINGKAT KE-3 DI BARUGA
Pada proses pengambilan keputusan di tingkat ke-3 di Baruga ini telah melibatkan para kepala Sara dari wilayah Wanci yang mewakili sebanyak  60 orang sara, Kepala Sara Mandati mewakili sejumlah 40 orang sara dan Kepala Sara Kapota mewakili 2o orang sara. Untuk perwakilan sara Wanci dan mandati masing-masing duduk di bangunan Baruga sayap kanan dan kiri sedangkan untuk perwakilan sara Kapota mereka duduk dibawah bangunan Baruga. Di atas lantai bangunan Baruga paling atas yang berada di tengah-tengah Baruga tersebut hanya boleh di duduki oleh Raja Liya beserta Meantu,u Agama dan Meantu,u Kontabitara  sedangkan yang perangkat lainnya juga duduk di masing-masing sayap kanan dan kiri Baruga tersebut. ****

BENTENG PATUA PENINGGGALAN RAJA-RAJA SEBELUM MAJAPAHIT TERDAPAT DI PULAU OROHO WANGI-WANGI


OLEH : ALI HABIU



Benteng Patua sebagai benteng tempat pemantauan musuh sekaligus benteng tempat penanaman berbagai ilmu sihir guna menghalangi pandangan musuh melihat pulau Oroho ternyata terdapat juga di pulau Oroho bagian barat. Benteng ini tidak begitu besar hanya berukuran sekitar 3,00 x 3,00 m2 dan tinggi 1,50 meter dengan didalamnya terdapat  2 buah lubang pengintaian dan 1 buah pintu yang tututpnya terbuat dari batu datar setinggi 1,20 m. Benteng pa,tua ini dibangun bersamaan dengan adanya resetlement permukiman di pulau oroho ini yang diperkirakan terdapat 10 buah dusun atau kampung yang bekas-bekasnya masih bisa dijumpai di lapangan saat ini. Diantara 10 buah dusun atau perkampungan tua di pulau oroho ini ada yang bernama One Mabasa (tepi pantai miliknya orang besar) dan Gua Mabasa (Gua tempat tinggalnya orang besar).


Benteng Pa,tua


Pulau Oroho

Benteng ini diperkirakan telah berusia ratusan tahun atau tepatnya dibangun pada Abad ke XI oleh prajurit Putri Khan yang saat ini tengah berkuasa di gunung Ba,ana Meja Kamaru pulau Buton. Di tengah-tengah pulau Oroho ini di zaman dahulu kala sebelum masyarakatnya berhijrah ke Liya telah ada perkampungan yang ditinggali oleh orang-orang sakti dan para hulubalang bajak laut. Masyarakat di pulau Oroho pada Abad ke XI lalu terdiri dari berbagai ethnis dari kumpulan para bajak laut mulai dari Filiphines, Irian, Nusa tenggara, Selayar, Maluku dan Tibet-Mongol dan para Resi atau Raja  dai berbagai wilayah kerajaan di nusantara yang sengaja datang bersembunyi ketika di cari oleh tentara Mongol.****

SEBANYAK 12 BUAH PINTU LAWA BENTENG KERATON LIYA TELAH SELESAI DI PUGAR

 OLEH : ALI HABIU



Puji dan syukur tak lupa di senantiasa dipanjatkan kehadirat Tuhan YME, Allah SWT karena atas perkenan dan ridhonya, maka Pemugaran Pintu Lawa Benteng Keraton Liya hingga saat ini telah selesai rampung dikerjakan sebanyak 12 buah dari rencana 12 buah Pintu Lawa yang terdapat dalam Kontrak Pemugaran Benteng Liya 2011 oleh Kasatker Pembangunan Penataan Bangunan dan Lingkungan Strategis Nasional Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.  Hal ini bisa terjadi karena lambannya sosialisasi pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi adanya dukungan dari Pemerintah Kabupaten Wakatobi khususnya Dinas Kebudayaan dan Parawisata dalam memberikan pemahaman tentang kawasan situs cagar budaya yang harus dilindungi kepada masyarakat dalam yang bermukim dalam kawasan Benteng Keraton Liya sehingga masyarakatnya betul-betul telah  memahami akan adanya Revitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2011 tentang Cagar Budaya dan/atau Undang-Undang serupa yang telah berlaku sebelumnya terbit undang-undang ini. Total Pintu Lawa di Lapangan sebenarnya terdapat sebanyak 13 buah namun hasil survey dari BPPP Makassar hanya memberikan data sebanyak 12 buah yang terdapat masing-masing di Lapis ke-1 Benteng Liya sebanyak 4 buah dan di lapis ke-2 Benteng Liya sebanyak 8 buah. Untuk lapis Benteng Liya ke-3 masih dilanjutkan studinya rencana tahun 2012 mendatang. Terdapat 1 buah Lawa yang diyakini oleh masyarakat Liya sebagai lawa tempatnya keramat yakni terdapat dibagian luar sejauh sekitar 300 meter arah pantai dari lokasi pemandian Tamba'a
 
Adapun Pintu Lawa yang telah selesai di pugar oleh Direktorat Penataan bangunan dan Lingkungan tahun 2011 ini adalah meliputi :
  1. Lawa Woru atau Lawa Bente
  2. Lawa  Banringi
  3. Lawa Ntooge atau Lawa Laro Togo
  4. Lawa Tamba'a
  5. Lawa Bisitio
  6. Lawa Wotea
  7. Lawa Timi
  8. Lawa Godo
  9. Lawa Puru
  10. Lawa Balalaoni
  11. Lawa Ewula'a
  12. Lawa Ewatu
Adapun Visualiasi gambar Pintu Lawa yang telah selesai di kerjakan di lapangan saat ini sebagai berikut ini :


LAWA BENTE (LAWA WORU)
LAWA GODO
LAWA BARINGI
LAWA BALALAONI
LAWA TIMI
LAWA WOTEA
LAWA BISITIO

LAWA LARO TOGO (LAWA NTOOGE)

LAWA TAMBAA